Komang

Kenapa Komang Dirayakan? Dan Kenapa Itu Tidak Berarti Kita Tak Layak Dikenang?

Komang dirayakan banyak orang. 
Dan aku paham alasannya. Karena kisahnya bukan sekadar tentang dua orang yang jatuh cinta, tapi tentang dua orang yang memilih untuk bertahan, meski harus melalui banyak hal yang tidak mudah.

Lagu-lagunya menyentuh, filmnya menghidupkan kembali harapan banyak orang soal cinta yang sederhana tapi kuat. Cinta yang tidak heboh, tidak harus tampil, tapi tetap terasa nyata.

Tapi ada satu hal yang ingin aku sampaikan. Bukan untuk mengurangi makna Komang, tapi untuk mengingatkan: Komang memang layak dirayakan, tapi ia bukan satu-satunya kisah yang layak dihargai.

Ada banyak cinta yang tidak diberi panggung, tapi tetap besar dan penuh makna.

Banyak laki-laki yang juga mencintai dengan sungguh-sungguh, hanya saja caranya berbeda. Mereka mungkin tidak menulis lagu, tidak membuat film, tidak jadi tokoh yang dikagumi orang banyak.

Tapi mereka tetap berjuang. Mereka diam-diam menunggu, diam-diam berdoa, diam-diam menjaga dari jauh—kadang bahkan merelakan orang yang mereka cintai pergi demi tidak membatasi atau menyakiti.

Mereka tidak populer. Tidak viral. Tidak disebut dalam thread cinta. Tapi bukan berarti cinta mereka lebih kecil.

Dan kadang, mereka merasa asing di dunia yang hanya merayakan cinta yang terlihat.

Padahal, seperti yang Komang pernah bilang: "Orang-orang yang menang itu adalah mereka yang bertuhan pada proses." Dan banyak dari kita—yang tidak terkenal ini—sedang menjalani proses yang sama. Pelan, berat, kadang sendiri. Tapi tetap berjalan.

Kita semua sedang belajar mencintai dengan cara kita masing-masing. 
Dengan sabar yang tak diumumkan, 
dengan kesetiaan yang tak disorot, 
dengan kebaikan yang kadang dianggap biasa.

Dan buatku, itu pun layak untuk dikenang. Layak untuk dihargai.

Jadi, jika hari ini kamu bukan Komang, tak apa. 
Cintamu tetap berharga. 
Perjuanganmu tetap bermakna. 
Dan mungkin suatu saat nanti, akan ada seseorang yang melihat semuanya—dan bersyukur karena pernah dicintai seindah itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog.

Dogma

Suratku