Menjawab

Saya Bukan Penulis

Saya, atau beta, bukanlah seorang penulis profesional. Saya hanyalah seseorang yang lebih sering menuangkan isi kepala ke dalam tulisan. Bukan untuk dikenal, apalagi diakui sebagai penulis. Menulis bagi saya adalah cara paling alami untuk memahami apa yang saya rasa.

Apakah kepiawaian menulis berasal dari selera lagu, tokoh panutan, atau buku yang dibaca? Tidak juga, sayang.

Saya ini orak-arik—suka lagu indie, R&B, rap, rock, pop, soul, jazz, dangdut, melayu, lagu rohani, bahkan lagu kebangsaan dan Malaysia pun saya nikmati. Panutan saya pun lintas disiplin: ada ahli fisika, kimia, biologi, geologi, sastra mesin, ekonomi, politik, agama... semua elemen bumi sepertinya pernah jadi inspirasi.


Lalu, apa yang membuat seseorang pandai menulis, akak?


Ah, jangan gunakan kata pandai. Lebih tepat kalau kita tanya: mengapa seseorang ingin menulis? Itu pertanyaan yang lebih jujur. Kalau ingin, ya tulis saja, gobl. Selama ada ruang, tulisan akan lahir. Mengetik "halo world" saja sudah bentuk tulisan. Chat iseng, rayuan, basa-basi, sampai jadi penonton story gebetan pun—itu semua bentuk narasi. Hanya wadah dan ruangnya yang berbeda.

Saya mulai menulis sejak SMA—puisi, catatan kecil tentang pengalaman, dan apa pun yang terasa penuh di dada. Barangkali, benih minat ini tumbuh dari lingkungan keluarga: kakek, paman, dan ibu saya—mereka semua piawai merangkai kata. Mereka mencipta pidato, syair, lagu, dan puisi yang membuat saya merinding. Dari mereka, saya belajar bahwa kata-kata adalah wadah dari perasaan terdalam, alat menyampaikan hal yang tak sanggup diucap secara gamblang.

Dulu, saya pernah memiliki lebih dari empat blog pribadi. Kini semuanya hilang, entah ke mana. Terlalu lama untuk diingat rinciannya, tapi saya masih menyimpan harapan: semoga suatu hari saya bisa kembali menelusuri jejak awal perjalanan menulis itu.

Saya tak pernah pakai metode khusus. Tak juga mengikuti panutan tertentu. Saya menulis atas kehendak sendiri, membiarkan pikiran mengalir apa adanya. Tulisan saya cenderung abstrak, tak rapi, tak sistematis. Tapi seiring waktu, saya mulai berpikir: mungkinkah tulisan ini bisa dinikmati orang lain? Bukan demi validasi, melainkan kemungkinan: bahwa seseorang di luar sana mungkin merasa ditemani, merasa "akhirnya ada yang mengerti."

Kini saya mulai menggunakan aplikasi bantu untuk merapikan alur. Namun, jujur, saya lebih menyukai versi mentah tulisan saya. Versi yang belum disentuh apa pun, karena terasa lebih jujur dan orisinal. Saya pun pernah mencoba AI—sebagai alat bantu juga. Tapi sering kali, AI menambahkan atau mengubah hal-hal yang tidak berasal dari saya. Maka saya kembali menyaring, menghapus, dan menyesuaikan—karena bagi saya, tulisan terbaik adalah yang lahir dari kejujuran, bukan sekadar keindahan.


Soal nama yang kerap muncul, banyak yang bertanya: “Apa arti Kinur?”


Kinur bukan berasal dari bahasa Arab, Latin, Yunani, atau yang lain. Itu hanyalah serpihan dari namanya, yang tidak perlu saya tulis. Tidak semua nama dalam tulisan saya bermakna tunggal. Beberapa menyimpan banyak lapisan. Seperti Kinur—ia adalah persepsi, fragmen harapan, dan bayang masa lalu.

Namun, menulis tentang Kinur bukan berarti seluruh tulisan saya tentangnya. Ada banyak catatan sunyi, seloka dalam diam, dan lembar-lembar lain yang menyimpan kenyataan, harapan, bahkan kemungkinan yang tak pernah terucap.

Saya menulis bukan untuk memuja satu nama, tapi untuk memetakan perjalanan batin. Memang, dari sekian nama, Kinur yang paling banyak disebut. Tapi izinkan saya jujur: saya menulis bukan hanya tentang dia, dan bukan pula demi dia. Saya mencintai dengan cara saya sendiri. Mungkin terlihat besar di mata orang lain, tapi bagi saya, mencintai adalah tindakan yang selalu bermakna—sekecil apa pun bentuknya. Justru, sering kali hal-hal yang sederhana itulah yang paling lama tinggal dalam ingatan.

Menyebut namanya dalam tulisan adalah bentuk penghormatan. Pengakuan tulus kepada seseorang yang, dengan caranya sendiri, pernah mencintai saya. Menulis tentangnya bukan bentuk drama berlebihan—tapi rasa hormat yang sepadan.

Saya tidak membesar-besarkan apa pun. Saya hanya menuliskan yang benar-benar terjadi. Menulis adalah jalan keluar ketika kepala ini terasa penuh sesak. Ketika overthinking menguasai, saya memilih untuk menjadikannya overwriting—agar isi kepala ini tidak menumpuk tanpa bentuk, melainkan menemukan ruang yang damai.

Orang menulis dengan banyak alasan. Ada yang ingin dimengerti, ada yang menulis karena itu bagian dari dirinya. Saya mungkin lebih dekat pada yang kedua. Tapi saya percaya, di balik setiap tulisan, ada bentuk penghormatan—kepada perasaan, kepada pengalaman, dan kepada hidup yang terus mengajar, bahkan tanpa kita sadari.

Menulis membuat saya merasa utuh. Ada ketenangan yang hadir ketika saya mampu mengalirkan isi hati dan pikiran ke dalam kata-kata. Dan kebahagiaan itu menjadi lebih lengkap ketika ada yang membaca, merasa ditemani, atau sekadar tahu bahwa mereka tidak sendiri.

Saya mencintai semua orang yang pernah hadir dalam hidup saya. Saya membiarkan mereka bebas, merayakan hidup dengan cara mereka sendiri. Biarlah yang baik tinggal sebagai pelajaran, dan yang buruk menguap bersama hal-hal yang tak perlu dikenang. Semua orang layak dikenang, karena mereka, dengan caranya sendiri, pernah menghadirkan kebaikan. Bukan hanya kepada saya, tapi juga sebagai bagian dari kehendak Tuhan yang mempertemukan kami di kehidupan yang hanya sekali. 


Untuk semua yang pernah singgah—ini hanyalah sepenggal goresan dari saya. Semoga kelak, semesta merayakan kita semua dengan porsi doa dan harapan yang diam-diam telah kita panjatkan selama ini. Aamiin. 



Bukan ceritanya yang penting, tapi keberanian untuk menceritakannya.

Terima kasih.

— Paman Ikhos

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog.

Dogma

Suratku