Katalis
Saat itu, aku berada di titik terendah dalam hidupku. Matahari yang biasa terasa hangat kini tampak suram, seakan meremehkan kesulitanku. Semua pintu tampak tertutup, dan hanya ada satu jalan: menyerah. Tapi, meski aku terjatuh, ada sesuatu di dalam hatiku yang menolak untuk hancur sepenuhnya.
Ketika aku berjuang untuk tetap berdiri, rasa insecure menyerang tanpa henti. Aku merasa kalah, bukan hanya oleh situasi, tetapi juga oleh bayang-bayang kesuksesan orang lain yang terus menghantui. “Mengapa hidupku tak seindah mereka? Mengapa aku harus menghadapi semua ini sendirian?” pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui benakku, membuat setiap langkah terasa semakin berat.
Namun, dalam keheningan malam saat aku terbaring di tempat tidur, ada sebuah bisikan lembut di hati yang berkata, ”Ini bukan akhir. Kamu hanya perlu bertahan sedikit lagi.” Bisikan itu mengusik hatiku, seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar menantiku di balik semua kesulitan ini. Perlahan, aku mulai mencari cara untuk meredakan badai yang berkecamuk di dalam dada.
Aku mulai menyadari, bahwa perasaan insecure dan kebiasaan membandingkan diri ini adalah racun yang merusak. Mungkin, untuk kali ini, aku harus berhenti melihat hidup orang lain dan mulai melihat ke dalam diriku sendiri. Aku mulai mencoba untuk bersyukur, meski awalnya terasa sulit. Aku mencoba melihat apa yang kumiliki, bukan apa yang hilang.
”Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam urusan dunia), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian itu lebih patut agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu.”
Hadits ini tidak hanya memberiku kekuatan, tetapi juga ketenangan yang selama ini kucari. Aku menyadari bahwa bersyukur bukan hanya tentang menghargai apa yang kita miliki, tetapi juga tentang menerima hidup apa adanya, dengan segala suka dan dukanya. Perlahan, beban yang kurasakan mulai terangkat. Aku merasa lebih kuat, lebih bijak, lebih sabar dalam menghadapi apa pun yang datang.
Setelah kejadian itu, aku teringat bagaimana dulu aku pernah merasa runtuh ketika gagal meraih target menyelesaikan studi di salah satu universitas terbaik di Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, pada usia 20/21 tahun yang sangat kuimpikan. Semua kerja keras yang kulakukan seakan sia-sia. Saat itu, rasanya seperti dunia ini tidak adil. Aku menyalahkan diriku sendiri, merasa tidak cukup pintar, tidak cukup beruntung.
Namun, perlahan aku menyadari bahwa kegagalan itu bukanlah akhir dari segalanya. Aku belajar bahwa kegagalan adalah guru terbaik, yang mengajarkanku tentang ketekunan, tentang mencari jalan lain ketika yang satu tertutup. Berkat kegagalan itu, aku menemukan jalur lain yang ternyata lebih sesuai dengan passion dan kemampuanku. Pengalaman ini, seperti halnya pengalaman lainnya, menjadi pengingat bahwa apa yang terlihat sebagai kemunduran bisa jadi adalah pijakan menuju kesuksesan yang lebih besar.
Ada seseorang yang sangat berjasa dalam perjuangan hidupku, yaitu kakakku sendiri. Dialah yang selalu memotivasi agar aku menjadi lebih kuat. Salah satu pesannya di akhir bulan Juni 2019 masih kuingat sampai saat ini:
”Apabila kita ingin baik-baik saja... Maka kelak jika ada yang benar-benar membuatmu haru dan takjub, pastikan itu adalah perjuangan orang tua. Dan jika ada yang membuatmu menangis, pastikan itu adalah cinta orang tua. Adik, hidup adalah sebuah permainan untuk orang tolol, sebuah komedi untuk orang kaya, dan tragedi bagi yang miskin. Namun bagi orang bijak, hidup adalah mimpi. Camkan! Bahwa, lebam luka yang ditoreh manusia dan genggaman duka yang diberi semesta hanyalah usaha sampah yang berusaha menjadikan kita seorang pecundang.
Hari ini adalah pertarungan yang sebenarnya, maka teguhkanlah kaki di tempat di mana kita berdiri, hadapkanlah segala ke arah barat dan hati ke arah timur, tempat di mana ayah dan ibu panjatkan doa. Pastikan seluruh nyali dan keyakinan yang kita punya agar tak gentar berhadap-hadapan dengan ‘situasi bajingan’ yang ingin menjadikan kita takut dan takluk.”
”Singkatnya, nyali dan keyakinan adalah sesajian yang wajib dipersembahkan dalam ritual perjuangan. Patahkan segalanya, sebab nasib bukanlah kutukan.”
Aku terus mengingat dan menerapkan pesan itu dalam setiap langkah, mematahkan segala bentuk rasa penyesalan yang ada. Aku kembali menata arsitektur kehidupanku, kembali percaya dan tekun dalam mengatasi kelemahan diri. Hari ini mungkin aku kalah, tapi besok aku pasti menang. Dan aku yakin, kalian juga bisa merasakan hal yang sama. Sebab, setiap badai pasti berlalu, dan di balik semua kesulitan ini, ada sesuatu yang indah menunggu kita semua.
—Riski Sandi Letsoin
Komentar
Posting Komentar