Metamorfosis

Dulu, aku sering kali meremehkan kampus di daerahku. Pikiranku saat itu masih dipenuhi dengan impian yang belum matang. Universitas kecil di kampung halaman tidak pernah masuk dalam daftar pilihanku. Namun, takdir membawa aku ke sini dengan cara yang tak terduga.

Memasuki semester lima di Universitas Ahmad Dahlan jurusan Hukum, dunia tiba-tiba berubah. Covid-19 datang sebagai badai yang mengguncang segala kepastian. Ekonomi melambat, interaksi sosial memudar, dan aku terpaksa menghadapi dilema besar: bertahan atau pulang. Kuliah adalah mimpi dan harapan orang tua, tetapi melanjutkan studi dalam situasi yang tak menentu ini terasa seperti terjebak dalam penjara yang mengekang.

Rasa putus asa dan overthinking menguasai hari-hariku. Setiap berita tentang penutupan kampus dan ketidakpastian masa depan semakin memperburuk suasana. Aku merasa seperti tenggelam dalam lautan tanpa dasar. Keputusan untuk cuti kuliah menjadi langkah berat yang memerlukan lebih dari sekadar keberanian.

Ketika akhirnya aku dan orang tua memutuskan untuk cuti kuliah, aku menyadari bahwa keputusan ini bukan hanya langkah pribadi tetapi juga upaya orang tua untuk meringankan beban mereka. Tahun 2020 menjadi babak baru. Aku kembali ke kampung halaman dan menghadapi pertanyaan serta stigma buruk dari tetangga. "Kenapa pulang? Pasti kuliahnya tidak becus," atau "Mungkin orang tuanya tidak mampu," adalah desas-desus yang menyakitkan.

Sebagai anak yang masih mencari jati diri, aku merasa tersinggung dan tidak berguna. Namun, dalam keputusasaan itu, aku belajar menemukan keberanian baru dalam diri sendiri. Dukungan keluarga membantu aku menerima keadaan dan merajut kembali harapan yang hampir pudar. Dengan keuangan keluarga menurun drastis, aku memutuskan untuk membantu ayah dalam pekerjaan yang jauh dari bidangku sebelumnya, termasuk pekerjaan interior rumah dan menjadi kuli bangunan.

Setiap hari menghadapi tantangan baru, aku menemukan makna dalam setiap tetes keringat. Saat bekerja memasang keramik di rumah seorang tetangga, aku merasakan betapa sulitnya mencari nafkah. Namun, melihat kebahagiaan keluarga kami di tengah kesederhanaan membuatku merasa ada nilai dalam setiap usaha yang kulakukan.

Di akhir tahun 2020, saat pergantian tahun menuju 2021, ayahku dengan lembut bertanya tentang keputusanku. "Nak, bagaimana dengan kuliahmu? Apakah kamu masih ingin melanjutkan?"

Aku menjawab dengan senyum tulus, "Ayah, aku masih ingin di sini." Ayahku menatapku dengan mata berkaca-kaca, "Kami tidak ingin memadamkan mimpimu, nak. Kami hanya ingin kau memahami arti berjuang bersama. Jika kamu memutuskan untuk kembali ke Jogja, kami akan mendukungmu sepenuhnya. Namun, kami khawatir tentang biaya."

Malam itu, aku terjaga dengan pikiran yang bergejolak. Berbagai kemungkinan dan ketidakpastian memenuhi benakku. Aku merasa terjepit di antara ambisi pribadi dan tanggung jawab terhadap keluarga. Setiap detik terasa seperti seumur hidup. Aku berdoa untuk menemukan jawaban yang benar.

Paginya, saat sarapan bersama ayah dan ibu, mereka memperhatikan penampilanku yang kurus. "Kau tampak kurus, nak. Apakah kau banyak begadang?" tanya ayah dengan nada khawatir. Aku menjawab, "Tidak, Pak. Aku hanya tidak banyak makan." Setelah percakapan hangat, mereka berkata, "Mungkin lebih baik jika kau kembali melanjutkan kuliah."

Dengan senyum tulus, aku berkata, "Aku ingin tetap bersama kalian di sini." Mereka memahami maksudku dan memelukku dengan penuh haru, membuatku merasa diterima sepenuhnya.

Pada tahun 2022, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas baru di kota kami, yang sebelumnya tidak pernah masuk dalam daftar impianku. Aku memilih jurusan Ilmu Komputer, sesuai dengan hobiku dalam mengedit dan menggambar. Di universitas ini, aku bertemu dengan orang-orang hebat yang menjadi teman sejati. Kami memiliki pertemanan yang harmonis, penuh dengan humor dan dukungan.

Keberanian untuk memulai sesuatu yang baru membawa perubahan besar dalam hidupku. Aku bersama teman-temanku mendirikan himpunan jurusan pertama di universitas kami. Proses pendirian ini penuh tantangan—mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, kami menghadapi berbagai hambatan. Namun, setiap tantangan membentuk kami menjadi lebih kuat dan lebih kompak.

Aku juga terlibat dalam berbagai pekerjaan baru, seperti desain grafis dan pemrograman. Setiap proyek baru adalah kesempatan untuk tumbuh dan belajar. Aku merasakan kepuasan tersendiri saat hasil kerja kami diterima dengan baik oleh orang lain.

Keberanian juga hadir dalam ranah romansa. Aku memiliki crush yang kini menjadi pacarku. Meskipun banyak yang tertarik padanya, aku percaya bahwa dengan kejujuran, nyali, dan keyakinan, hubungan kami bisa berkembang. Saat pertama kali mengungkapkan perasaanku, aku merasa jantungku berdegup kencang. "Aku ingin jujur padamu," kataku dengan suara bergetar. "Aku suka kamu dan ingin kita mencoba sesuatu yang lebih serius." Ternyata, dia merasakan hal yang sama. Kami berbicara tentang masa depan dan berbagi impian, menjadikan hubungan kami lebih berarti.

Dalam perjalanan ini, aku belajar bahwa keberanian sejati bukan hanya tentang membuat keputusan besar tetapi juga tentang bagaimana kita menghadapi dan mengatasi setiap tantangan dengan hati yang penuh. Aku terus belajar untuk menemukan keseimbangan antara ambisi pribadi dan tanggung jawab terhadap keluarga. Setiap hari adalah pelajaran baru, dan aku berusaha untuk menjalani hidup dengan penuh rasa syukur.

Aku menyadari bahwa setiap keputusan yang kuambil, setiap langkah yang kuambil, adalah bagian dari perjalanan menuju keberanian dan makna yang lebih dalam. Hidup adalah tentang bagaimana kita menghadapi ketidakpastian dan tetap berani untuk melangkah maju, meskipun rintangan tampaknya tak terhindarkan.

“Dalam malam yang panjang, keberanian adalah bintang yang menerangi jalan menuju cahaya tersembunyi di balik keraguan.” 


-Riski Sandi Letsoin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog.

Dogma

Suratku