Epilog.

Malam ini, di bawah langit berpendar lembut, aku menulis catatan akhir kisah kita. Setiap detik bergetar dalam ingatan, seolah melodi yang mengiringi langkah kita. Kini, di ambang perjalanan baru, aku ingin menuliskan setiap jejak yang tertinggal—kenangan yang tak ingin kuulangi.

Kisah kita dimulai seperti matahari terbit, menyinari hati dengan kehangatan tulus. Tawa kita mengalir seperti angin musim semi, setiap langkah terasa ringan. Aku mencintaimu dalam bisikan lembut malam, tersembunyi di balik desir ombak. Kau adalah misteri yang selalu ingin aku pecahkan, meski jawabannya kadang menyakitkan.

Namun, waktu, seperti angin, mengubah segalanya. Apa yang dulu abadi kini memudar. Aku melihat perubahan dalam dirimu, bukan dari senyummu, tetapi dari kata-kata yang berbeda. Ada jarak yang tumbuh, seperti musim dingin yang datang tanpa peringatan. Kau menyalahkanku dalam percakapan yang tak berujung, katamu kau butuh waktu untuk meresapi luka yang kita ciptakan bersama.

Aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Meskipun hatiku tersayat keraguan, aku tetap menyimpan rasa itu. Namun, cinta yang kuberikan bukanlah obat untuk lukamu. Kau, dengan segala keindahan dan kekuranganmu, adalah teka-teki yang tak pernah bisa kutemukan jawabannya.

Setiap pertemuan, harapku agar kali ini berbeda. Namun, kita selalu kembali ke titik yang sama. Kau dengan keyakinanmu, aku dengan cintaku yang tak tergoyahkan. Di antara kita, ada jurang yang semakin dalam. Kata-katamu, dulunya penuh cinta, kini terbungkus ketidakpastian. Kau berbicara tentang ekspektasi yang tak pernah kutepati. Aku hanya bisa diam, menatapmu dengan cinta yang masih utuh, namun tak lagi relevan.

Kini, kita adalah dua bintang yang berputar di orbit berbeda. Meski pernah bersinar terang, jarak di antara kita tak bisa dijembatani. Kau mencari alasan untuk pergi, dan aku, meski menggenggam harapan, tahu ini adalah akhir. Mungkin bukan karena kita tak saling mencintai, tetapi cinta saja tak cukup untuk menyelamatkan.

Hari ini, di hadapan malam sunyi, aku memilih berhenti. Bukan karena tidak mencintaimu, tetapi untuk kembali mencintai diriku sendiri. Aku harus pergi, bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai penghormatan pada diriku. Aku lelah bertahan dalam hubungan yang hanya menghidupi bayangan masa lalu.

Kau, permataku, kini harus kulepaskan. Bukan untuk melupakan, tetapi untuk mengingat dengan cara yang berbeda. Kau adalah bab indah dalam hidupku, namun bab itu telah selesai. Tidak ada gunanya menulis ulang cerita yang telah kita akhiri berulang kali.

Aku tahu perpisahan ini adalah yang terakhir. Tidak akan ada lagi percakapan penuh harapan baru, hanya berakhir dengan rasa sakit yang sama. Aku sudah memaafkanmu, sebagaimana aku telah memaafkan diriku. Biarkan kenangan itu menjadi angin lembut, berhembus di antara pohon rindang, tanpa membebaniku lagi.

Hari-hari ke depan akan terasa sunyi, namun dalam kesunyian itu, aku akan menemukan kedamaian yang kucari. Aku akan belajar mencintai kembali—bukan seseorang, tetapi hidup. Aku akan menapaki setiap langkah dengan ringan, tanpa membawa bayanganmu yang selalu ku genggam erat. Kau adalah bagian dari perjalananku, tapi aku tahu, jalan ini harus berlanjut tanpamu.

Semoga kau juga menemukan kedamaian. Meski kita berjalan di arah berbeda, aku ingin kau tahu, aku akan selalu mengingatmu dengan cinta, bukan penyesalan. Pertemuan kita bukan kesalahan; kau adalah bagian dari takdirku, pelajaran tentang cinta, kehilangan, dan akhirnya, tentang menemukan diri sendiri.

Terakhir kalinya, aku menatapmu dari jauh. Bukan dengan harapan untuk kembali, tetapi dengan keikhlasan untuk melepaskan. Kau butuh ruang dan waktu, dan aku memberikannya padamu. Bukan sebagai bentuk kekalahan, tetapi sebagai bukti bahwa aku peduli.

Kini, aku melangkah pergi. Bukan dengan tergesa, tetapi dengan hati tenang. Suatu saat nanti, kita akan bertemu lagi, bukan sebagai dua orang yang saling mencintai, melainkan sebagai dua jiwa yang pernah berbagi perjalanan singkat. Kita akan tersenyum, tanpa beban, tanpa saling menyakiti.

Saat itu tiba, aku akan melihatmu sebagai bagian dari masa lalu yang indah, bukan bagian dari masa depanku. Kau akan selalu menjadi permataku yang hilang, tetapi aku akan terus berjalan, mencari cahaya baru yang menerangi langkahku. Aku akan menemukan cinta baru, cinta yang tidak dibangun di atas harapan rapuh, tetapi di atas keyakinan yang kuat.

Terakhir kalinya, aku menutup mata dan mengucapkan selamat tinggal. Bukan selamat tinggal untuk cinta kita, tetapi untuk harapan yang tak lagi bisa dijalani. Aku akan baik-baik saja, karena setelah setiap akhir, akan selalu ada awal baru.

Saat aku berdiri di persimpangan waktu, aku menyadari bahwa perpisahan ini bukan hanya tentang melepaskanmu. Ini adalah tentang melepaskan segala hal yang terikat padamu—tempat-tempat yang menyimpan jejak langkah kita, lagu-lagu yang pernah memanggil namamu, dan warna-warna yang dulu mewakili senyummu. Setiap detail kecil dalam hidupku kau hiasi, namun kini, saat aku melangkah pergi, aku juga harus melepaskan semua itu.

Senja yang dulu menjadi pengingat kehadiranmu kini harus kulupakan. Bukan karena ia tak lagi indah, tetapi karena terlalu dekat dengan bayangmu. Setiap semburat warna di langit memanggil kembali ingatan akan dirimu, dan aku tak bisa terjebak dalam nostalgia yang tak kunjung usai.

Bukan hanya senja, tetapi juga tempat-tempat di mana kita pernah berpijak bersama. Ruang itu, dulu tempat kita bebas bercengkerama, kini terasa kosong. Tidak ada lagi tawa yang menggema, hanya hampa. Setiap sudutnya mengingatkanku pada momen-momen ketika kita merasa segalanya akan abadi. Namun, aku tahu, aku harus berhenti mengunjunginya.

Lagu favorit kita, yang selalu menjadi pengantar tidurku, kini tak lagi terdengar sama. Melodi lembut kini menyayat hati, dan setiap baitnya mengingatkanku pada kenangan yang ingin kulupakan. Lagu itu adalah jembatan ke masa lalu yang tak ingin kuingkari, tetapi aku harus membiarkannya tenggelam, sama seperti cinta kita yang telah tenggelam dalam waktu.

Warna favoritmu, yang dulu mengisi pikiranku, kini tak lagi membawa kesenangan. Setiap kali aku melihatnya, aku seolah melihatmu tersenyum. Warna itu dulu simbol kehangatan yang kita miliki, namun kini hanya mengingatkanku pada yang telah berlalu. Aku harus belajar melihatnya dengan cara berbeda, bukan sebagai perpanjangan dirimu, tetapi sebagai bagian dari dunia yang terus berputar.

Aku memutuskan untuk berhenti menghidupkan kembali kenangan yang tersimpan dalam lagu-lagu, tempat-tempat, dan warna-warna itu. Melupakan tidak mudah, tetapi untuk bisa melanjutkan hidup, aku harus berani menutup semua pintu yang masih terbuka menuju masa lalu. Masa lalu yang penuh keindahan, tetapi juga luka yang tak bisa lagi kuobati.

Langit yang dulu kita kagumi bersama kini hanya menjadi langit biasa. Bukan karena keindahannya memudar, tetapi karena aku memilih untuk tidak melihatnya dengan cara yang sama. Aku ingin menikmati keindahan tanpa bayanganmu membayangi setiap langkahku.

Ini bukan tentang melupakan seutuhnya. Kenanganmu akan selalu menjadi bagian dari diriku. Tetapi ini tentang memberi ruang bagi diriku untuk menemukan hal-hal baru, untuk menemukan cinta dan kebahagiaan di tempat yang tak lagi kau singgahi. Aku akan mulai mendengarkan lagu-lagu baru, mengunjungi tempat-tempat baru, dan mungkin, menemukan warna-warna baru yang akan mengisi hidupku dengan cara yang berbeda.

Aku tidak lagi ingin terjebak dalam lingkaran kenangan yang tak bisa membawa kita kembali. Aku ingin hidup dengan bebas, tanpa beban masa lalu yang terus mengikat langkahku. Terakhir kalinya, aku menutup pintu pada semua yang pernah kita bagi, bukan karena aku tak menghargainya, tetapi karena aku tahu, aku pantas mendapatkan kesempatan untuk memulai lagi.

Aku akan baik-baik saja. Suatu hari nanti, lagu yang kuputar tidak lagi menyanyikan namamu, senja yang kulihat tidak lagi mengingatkanku pada siluetmu, dan warna-warna di dunia ini tidak lagi menjadi simbol perasaan yang tak bisa kujalani. Aku akan melihat dunia ini dengan cara yang baru, dengan hati yang ringan, karena pada akhirnya, aku layak menemukan kebahagiaan yang tak lagi terikat oleh masa lalu.

Kau akan tetap menjadi permataku yang tenggelam di dasar lautan, memancarkan sinar dari kejauhan. Biarlah kita seperti bintang yang pernah bersinar bersama, kini terpisah oleh waktu, masing-masing bergerak dalam orbit sendiri. Kau adalah kilauan yang pernah kurengkuh, kini hanya serpihan cahaya di tepi ingatanku. Aku memilih untuk tidak menelusuri jejakmu, tetapi berlayar ke horizon baru, menuju fajar yang tak pernah kau sentuh. Aku memilih untuk mencintai diriku sendiri, seperti angin yang membebaskan ombak, melangkah maju tanpa kembali ke laut cerita yang telah karam.


Sayonara; wahai permata! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dogma

Suratku