Dogma

Kepada Langit Biru yang Kukenang. 

Aku mengira kau masih kekasihku, satu nama yang tak pernah pudar dari ingatan, satu wajah yang selalu terukir di cakrawala jiwa, dan satu-satunya jiwa yang mengalir deras dalam tiap hela nafasku. Setiap kali aku memejamkan mata, bayanganmu tak pernah benar-benar pergi. Kehadiranmu seperti detak jantung, tak terlihat namun selalu terasa—ada di setiap sudut hatiku, membayangi setiap pikiran, tak bisa kulepaskan, meski waktu terus berjalan.

Kuingin mendeskripsikanmu seperti langit yang tak bertepi, sebuah keabadian yang selalu ada di atas sana. Kadang dihiasi awan lembut yang bercerita, awan yang perlahan bergerak, seakan mereka membawa pesan rahasia, cerita tentang kita, tentang segala perasaan yang pernah ada. Kadang langit itu berubah—awan hitam datang menyelimuti, menghantarkan hujan deras yang seolah mencerminkan air mataku. Seolah-olah ada bait-bait yang harus dituangkan dari relung terdalam, kisah-kisah yang belum selesai, seperti puisi yang tak pernah rampung, menggantung di udara.

Namun, dalam semua perubahan itu, tak pernah ada bayangan buruk tentang langit. Bagiku, langit tetaplah cerminan dari hatiku sendiri, sebagaimana ia semestinya—selalu membawa pesan, antara cahaya dan bayangan, antara terang dan kelam. Tapi di setiap pergantian hari, di setiap pergantian cuaca, aku tahu, kau tetap langitku, yang kupandangi dalam segala bentukmu, yang kuharapkan dalam segala musimmu. Dan meskipun aku tahu kau jauh, aku selalu merasa kau begitu dekat, karena langit yang kugambarkan di mataku selalu sama—kau.

Sering kali aku mendengar lagu, dan kupikir itu lagu yang berasal dari hatiku, lagu yang pernah kita dengarkan bersama, nada-nada yang bergetar di udara, seolah menggema dari kenangan lama. Kau kira itu lagu yang kuciptakan untukmu, tapi kenyataannya, itu hanyalah gema dari rindu yang terus tumbuh, rindu yang tidak pernah selesai, yang terus memanggil namamu. Ada saat aku melihat seseorang dari kejauhan—posturnya, caranya berpakaian, dan untuk sejenak, aku berpikir itu kau. Rindu ini begitu kuat, hingga bayanganmu muncul di tempat-tempat yang tak terduga, sampai segala benda memicu ingatan akanmu, seolah dunia ini penuh dengan bayang-bayang kehadiranmu. Dan aku? Aku tersesat dalam bayangan itu, terjebak dalam labirin kenangan.

Kau bukan lagi setangkai bunga yang kucari dalam taman itu, bukan sekadar seseorang yang kutunggu di suatu tempat. Kau adalah langit yang selalu ada di atasku, yang kapan saja bisa kujumpai, selalu ada, namun tak pernah benar-benar kugenggam. Aku pikir kau cukup paham tentang insan yang ingin jatuh dalam singasana sukmamu, ingin merebahkan segala rasa yang mulai lemah, namun enggan untuk menyerah pada keadaan. Kupikir kau lebih mengerti tentang keberadaanmu sendiri, tentang bagaimana kehadiranmu memberi makna, meskipun aku hanya seorang penikmat langit, menatap dari kejauhan, tanpa pernah benar-benar sampai.

Mungkin suatu hari nanti, sudikah engkau untuk berbincang sedikit denganku lagi? Walaupun cuacanya tak baik, meski langit dipenuhi awan kelabu. Aku tak peduli—sedingin apa pun hujan, sekuat apa pun badainya, aku ingin bercerita, ingin berbagi cerita yang tak pernah kusampaikan. Aku ingin kau mendengarkan—bukan dengan telingamu, tapi dengan hatimu. Aku ingin mengungkapkan semuanya, meski aku tahu mungkin tak ada jawaban yang kau siapkan.

Aku terpenjara di sini, dalam perasaan yang tak kunjung padam. Kau tahu aku melukismu dengan air mata, menggambarkan bayangmu dalam tiap tetes yang jatuh. Kau tahu aku menulismu dengan tinta nadiku, tiap kata adalah denyut yang tak bisa kuabaikan, sebuah puisi panjang yang tak pernah selesai, dan imajinasi yang tak pernah habis. Aku menciptakan dunia kecil di dalam pikiranku, dunia di mana kau selalu ada, di mana setiap hari adalah percakapan yang tak pernah terucap, dan setiap malam adalah rindu yang tak pernah usai.

Kau adalah langitku, tempat segala pikiranku berlabuh, tempat segala harapanku bergantung. Dan meski aku tahu, mungkin kau tak lagi memandang ke arahku, aku tetap di sini, menatapmu dari jauh, mencoba mencari celah untuk menggapai, meskipun aku tahu, langit tak pernah benar-benar bisa kugenggam. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog.

Suratku