Stoik
Aku memiliki seorang kekasih, Kinur, yang selama bertahun-tahun telah menjadi pusat kehidupan dan harapanku. Ketika hubungan kami dimulai, aku membayangkan masa depan yang penuh keindahan bersama. Aku rencana-rencana indah, seolah-olah kami adalah dua bintang di langit yang tak terpisahkan. Namun, seiring berjalannya waktu, realitas sering kali berbeda dari angan-angan.
Keputusan-keputusan Kinur kadang kala menghancurkan harapanku. Kekecewaan dan rasa sakit seperti gelombang yang terus menerjang pantai, tak memberi waktu untuk beristirahat. Aku merasa terjebak dalam pusaran kekecewaan yang mendalam, yang membuatku mempertanyakan segala usaha dan cinta yang telah kuberikan.
Suatu sore yang suram, di pantai favorit kami, aku dan Kinur duduk di ayunan yang lembut, membiarkan angin laut menyingkapkan kesedihan kami. Ayunan yang biasanya menjadi tempat berbagi tawa kini terasa seperti beban emosional yang berat.
“Kinur,” kataku dengan nada penuh harapan, “apakah kita masih berada di jalur yang sama? Aku tahu kita telah membuat banyak rencana bersama, tapi rasanya semuanya tidak seperti yang kubayangkan.”
Kinur menatap horizon dengan tatapan kosong. “Ikhos,” katanya, “aku merasa kita perlu berpisah. Aku tidak bisa terus-menerus merasa terjebak dalam hubungan yang tampaknya tidak memberi kami kebahagiaan. Jika kita berpisah, aku ingin kita memutuskan semua ikatan, bahkan komunikasi. Tidak ada lagi hubungan, bahkan sebagai teman.”
Kata-katanya seperti pedang yang menembus hatiku. “Jadi, kau benar-benar ingin kita berpisah tanpa pernah berhubungan lagi?”
Kinur mengangguk tegas, matanya menunjukkan keputusan yang sudah bulat. “Ya, aku rasa ini adalah cara terbaik. Kita harus memberi diri kita ruang untuk tumbuh tanpa belenggu masa lalu. Aku ingin kita benar-benar berpisah.”
Keputusan Kinur mengubah segalanya. Kami berpisah, dan mengikuti keinginannya, aku tidak lagi memiliki akses ke kehidupannya—semua akun media sosialku diblokir. Terasa seperti duniaku runtuh dalam sekejap. Aku harus belajar hidup dengan realitas baru, yang penuh dengan rasa sakit dan penyesalan.
Selama satu tahun lebih, aku terjebak dalam kegelapan perasaan. Setiap hari terasa seperti perjuangan untuk melawan kerinduan dan kekecewaan. Meski Kinur telah menjauh, aku tidak bisa sepenuhnya melepaskan kenangan-kenangan kami. Aku sering memantau akun media sosialnya secara diam-diam, merasakan campuran antara rindu dan penyesalan yang mendalam.
Dalam kekacauan emosional ini, aku sering terpengaruh oleh kutipan-kutipan yang sering kudapatkan dari berbagai sumber. Kutipan-kutipan yang seharusnya memberi dorongan malah menambah rasa tertekan. “Apa yang kita miliki adalah kenangan, dan kenangan hanya bisa membebani jika kita terus menekannya,” membuatku merasa semakin terjebak dalam masa lalu. “Berhentilah berharap sesuatu akan menjadi seperti yang kau inginkan; terima kenyataan seperti adanya,” semakin menegaskan kekecewaanku.
Di tengah rasa sakit itu, aku menulis pesan-pesan yang tak pernah ku kirimkan kepada Kinur. Pesan-pesan itu adalah curahan hati, penyesalan, dan harapan untuk memperbaiki yang rusak. Aku menyimpan pesan-pesan itu dengan penuh harapan, berharap suatu hari kesempatan untuk mengungkapkannya akan datang.
Satu hari, aku memutuskan untuk mengambil langkah berani. Dengan bantuan Asy, teman cewekku yang mengerti betapa pentingnya hubungan ini bagiku, aku meminta Asy untuk mencari nomor WhatsApp baru Kinur. Setelah usaha yang gigih, aku akhirnya mendapatkan nomor tersebut. Dengan rasa campur aduk antara harapan dan kecemasan, aku mengirimkan pesan pertama.
Pesan itu adalah permohonan maaf dan keinginan untuk memulai kembali. Aku menjelaskan betapa pentingnya hubungan kami bagiku dan harapan untuk memperbaiki apa yang telah rusak. Aku berharap bisa membuka kembali jalur komunikasi yang telah tertutup, meskipun aku tahu ini adalah langkah yang penuh risiko.
Hari-hari berlalu dengan penuh ketegangan. Aku menunggu dengan cemas, tidak tahu apakah Kinur akan membalas pesanku atau bagaimana reaksi dia. Akhirnya, Kinur membalas pesan tersebut. Meskipun kami tidak bertemu secara langsung, kami mulai berkomunikasi melalui WhatsApp. Percakapan awal kami dipenuhi dengan keraguan dan ketegangan, namun kami berusaha saling memahami.
Dalam salah satu percakapan, Kinur berkata, “Ikhos, aku masih merasa sakit dan bingung tentang bagaimana kita mengakhiri semuanya. Namun, aku menghargai usaha dan ketulusanmu untuk memperbaiki keadaan.”
Aku menjawab, “Aku tahu aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki apa yang rusak. Aku merasa kita masih bisa menemukan jalan menuju pemahaman baru.”
Kami mulai membahas kesalahan dan kekecewaan yang telah mengganggu hubungan kami. Setiap kali aku membaca pesan dari Kinur, aku merasakan campuran antara kegembiraan dan ketidakpastian. Aku berusaha menjadi terbuka dan jujur, berharap bisa mengatasi masa lalu dan membangun kembali hubungan kami.
Hari-hari berikutnya, komunikasi kami semakin membaik. Kami berbicara tentang bagaimana memperbaiki hubungan dan saling mendukung dalam prosesnya. Kinur berkata, “Aku merasa lebih baik bisa berbicara denganmu lagi. Meskipun kita masih harus berusaha keras untuk memperbaiki semuanya, aku menghargai usaha dan ketulusanmu.”
Aku merasa berterima kasih atas kesempatan kedua ini. Meskipun hubungan kami tidak kembali seperti semula, aku merasa kami telah mencapai suatu bentuk pemahaman baru. Aku belajar untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua hubungan harus berakhir dalam romantisme, dan kadang-kadang, perbaikan dapat ditemukan dalam bentuk persahabatan yang tulus.
Kini, aku dan Kinur melangkah maju dengan rasa hormat yang lebih dalam terhadap satu sama lain. Kami menyadari bahwa dalam setiap hubungan, ada kemungkinan untuk memperbaiki dan menemukan kebahagiaan baru, asalkan ada kemauan dan usaha yang tulus dari kedua belah pihak. Kami menemukan kekuatan dalam menghadapi masa lalu dan membangun kembali komunikasi, yang memberikan pelajaran berharga tentang keteguhan hati dan kemampuan untuk berubah.
See u next sharing!
Komentar
Posting Komentar