Noktah

Langit yang Kita Pandangi, Senja yang Kita Bagi


Di tahun 2023, aku bertemu Kinur di sebuah universitas di kota kami. Dalam sekejap pandang, aku merasakan sesuatu yang asing namun menenangkan. Matanya menjadi titik pertama yang menarik, namun lambat laun aku menyadari bahwa setiap kekurangan dan kelebihan dalam dirinya memikat tanpa perlu banyak alasan. Dia adalah seorang introvert yang selalu tenang, namun juga misterius dalam diamnya. Ada sisi pemalu, pendiam, dan bahkan ketidakstabilan dalam perasaannya, yang mungkin bagi sebagian orang adalah kekurangan. Tapi bagi diriku, itu adalah keindahan yang unik—kecantikan yang terselip dalam ketenangan dan keberanian yang halus.


Hari demi hari, aku semakin terbiasa akan kehadirannya. Terbiasa pada kebiasaannya yang lebih banyak berdiam, namun mengisi ruangan dengan pesona yang lembut. Kami sering berpapasan di ruang kelas, dan dalam momen itu aku merasa ada ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir memang sengaja menuntun kami pada arah yang sama. Lambat laun, hubungan ini berkembang tanpa pernah direncanakan. Kinur menjadi lebih dari sekadar sosok yang kupandang dari kejauhan; dia adalah seseorang yang mengubah cara pandangku tentang makna kehadiran.


Kami saling mengenal lebih dalam lewat percakapan virtual, membangun kedekatan di antara layar dan kata-kata. Setiap malam, kami saling menjaga hingga tertidur, meskipun itu hanya dalam sebuah ruang maya. Ada jarak sekitar sepuluh kilometer di antara kami, tapi jarak itu tidak pernah menjadi penghalang. Malah, dalam keterbatasan tersebut, aku menemukan kenyamanan yang tak tergantikan. Seiring waktu, kami mulai berbagi hal-hal kecil, mulai dari warna kesukaan—hitam, krem, biru, putih—hingga lagu-lagu yang mengisi hari-hari kami dengan melodi yang diam-diam menyatukan hati.


Percakapan kami sederhana namun dalam; kadang ia menggunakan panggilan seperti “antum” atau “kaka,” sesuatu yang tak pernah kukira akan terdengar manis. Sesekali dia berkata “iya tapi tidak” saat menanggapi ceritaku, frasa yang selalu membuatku tertegun dan merasa ia begitu dekat tapi tetap tak tersentuh. Ada ketulusan dalam setiap jawabannya, meski terkadang dia menjawab dengan kalimat ambigu yang, entah bagaimana, membuatku merasa semakin terpikat. Di sinilah aku mengerti, bukan hanya pertemuan fisik yang menumbuhkan rasa, tetapi juga setiap kata dan jeda dalam percakapan kami yang seakan meretas jarak.


Hubungan kami memiliki simbol yang istimewa: senja. Mungkin karena di sanalah kami sering berpapasan tanpa kata, memandang cakrawala yang membara dalam diam yang penuh arti. Senja bagi kami adalah pertanda—sebuah waktu di mana keindahan dan akhir bertemu, melambangkan kisah kami yang indah namun penuh keterbatasan. Kami tak pernah berbicara langsung soal senja itu, tapi kami tahu, setiap kali senja datang, di sanalah kita berbagi sesuatu yang tak perlu dikatakan.


Namun, semua ini tak selalu berjalan mulus. Seiring berjalannya waktu, perbedaan antara kami semakin terasa. Kinur adalah sosok yang menjaga privasinya dengan baik, seseorang yang penuh dengan batasan yang rapi, dan aku memahami mengapa demikian. Dia lahir dari keluarga yang selalu menjaganya, memberikan batas yang membuatnya lebih nyaman di rumah daripada di dunia luar. Sedangkan aku, dengan latar belakang keluarga sederhana, berusaha keras merangkai mimpi-mimpiku sendiri. Kami berasal dari dunia yang berbeda, namun itu tidak mengurangi rasa kagumku pada dirinya.


Pada pertengahan 2023, kami menyadari bahwa perjalanan ini harus diakhiri. Bukan karena cinta yang memudar, tetapi karena batas yang tak bisa ditembus. Aku ingin berjuang demi masa depan, dia ingin menjalani hidup dengan tenang. Kami harus merelakan, bukan karena keinginan, tetapi karena kenyataan. Perpisahan itu adalah noktah yang harus kubuat di akhir sebuah kalimat panjang yang indah namun terhenti.


Pada 2024, takdir mempertemukan kami kembali dalam sebuah kejadian yang tak terduga. Kami saling berbagi maaf yang selama ini tertunda, melepaskan perasaan yang sekian lama terkurung. Ada kehangatan yang tetap ada, meskipun kami kini adalah dua sosok yang tidak lagi memiliki hubungan yang bernama. Dalam pertemuan itu, aku mengerti bahwa ia akan selalu menjadi bagian dari kisahku, meski tidak lagi dalam bentuk yang sama.


Kini, setiap kali senja tiba, aku mengenang semua yang telah kami lalui—keheningan yang kami bagi, percakapan yang tertinggal, dan harapan yang tidak pernah benar-benar padam. Mungkin suatu hari aku akan kehilangan dirinya, tapi aku tahu, dia takkan pernah kehilangan aku, karena aku di sini, selamanya untuknya. Di sinilah aku paham bahwa cinta bukanlah soal memiliki, tetapi merelakan, membiarkannya tumbuh meski dalam keterbatasan waktu dan jarak.


Bagiku, Kinur adalah bagian dari langitku, secerah senja yang takkan pernah pudar meski tidak lagi bisa kugapai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog.

Dogma

Suratku