Taksa
Semua orang pasti pernah bertemu dengan yang namanya perpisahan. Entah itu dengan teman, keluarga, atau seseorang yang begitu kita cintai. Namun, adakah cara yang paling bijak untuk menggambarkan situasi ini? Aku tidak tahu. Yang jelas, aku akan menceritakan tentang kami—tentang rumah yang begitu nyaman, tempat pulang yang kini harus kutinggalkan. Sebuah perpisahan yang datang tiba-tiba, begitu tergesa-gesa.
Aku tak siap. Aku bahkan tak sempat menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang logis untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Kinur adalah seseorang yang selalu tertutup dalam hal-hal tertentu, sekalipun kami sudah sejauh ini berjalan bersama. Ada banyak teka-teki yang ia tinggalkan dalam pikiranku, membuat malam terasa lebih panjang, dan hari semakin lama.
Kami adalah dua manusia yang dipersatukan oleh semesta, entah sebagai ujian atau justru sebagai jawaban. Namun, aku terlalu cepat menyebutnya sebagai takdir. Ataukah aku hanya terlalu jatuh cinta?
Hari-hari kami dihiasi dengan tawa, kebahagiaan, dan juga kesedihan. Kami berbincang tentang banyak hal—tentang perasaan kami, tentang cuaca, tentang matahari, bahkan tentang hal-hal absurd yang mungkin tidak penting bagi orang lain, tapi sangat berarti bagi kami.
Aku selalu berusaha menciptakan percakapan, ia juga, tapi tidak sebanyak aku. Aku penuh semangat, ia juga, tapi tidak seantusias aku. Aku selalu lebih dulu menghubunginya, ia juga, tapi tidak sesering aku. Aku tidak sedang membandingkan. Hanya saja, itulah caraku mencintainya dalam kesederhanaan.
Kami melewati 360 hari bersama. Bukan sekadar hitungan hari, tetapi momen. Terkadang ada saja drama kecil yang membuat kami gemas dan saling merayu. Notifikasi ponsel kami lebih sibuk daripada dentingan jam dinding. Kami tidak selalu bisa bertemu, hanya berkomunikasi lewat pesan singkat. Bukan karena tidak ingin berusaha lebih, tetapi begitulah cara kami memahami satu sama lain.
Ada kalanya perbedaan kecil menimbulkan pertengkaran, namun bukankah cinta selalu memiliki caranya sendiri untuk menguji kesabaran? Bagiku, setiap perdebatan hanyalah cara untuk saling belajar—belajar merayu, belajar meminta maaf, dan belajar menemukan jalan tengah. Aku bahkan telah mengucapkan bahwa aku mencintainya sebanyak kata-kata indah yang telah dituliskan oleh para penyair. Aku ingin menggambarkan senyumnya dan cara ia menatapku seperti lukisan-lukisan terbaik dunia. Aku ingin mengenangnya seperti lagu yang terus-menerus dinyanyikan.
Namun, lambat laun, ada hal-hal yang tak kusadari. Seperti kenyataan bahwa perpisahan adalah sesuatu yang pasti. Kami memiliki masalah. Perasaan yang pernah kami sepakati sebagai takdir, tiba-tiba menemukan jalan buntu. Takdir membatalkan dirinya sebagai akhir, ia hanya jeda yang belum tahu akan berlanjut di mana dan dengan siapa.
Pada akhirnya, kami mengakhiri hubungan ini. Dengan alasan-alasan yang logis, meski hatiku tak bisa menerimanya. Aku berusaha mencari celah, memohon untuk tetap lanjut. Namun, Kinur tetap pada pendiriannya. Entah apa jawaban yang sebenarnya, aku hanya bisa mencoba dan mencoba agar hubungan ini tetap berjalan.
Namun beberapa menit setelah semua perdebatan itu, aku sadar. Orang yang kita cintai pun punya jalan lain. Tak selamanya seseorang berporos pada hubungan yang kita harapkan. Ada tekanan dari masa depan, ada ketakutan tentang ke mana ini akan bermuara. Kinur memikirkan semuanya, sesuatu yang tak pernah benar-benar kupahami sebelumnya.
Dan di situlah kata perpisahan itu akhirnya menjadi nyata.
Ikhos: "Jadi, kita benar-benar selesai?"
Kinur: "Aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh, Ikhos. Aku tahu ke mana ini akan berakhir. Dan aku tidak ingin kita tiba di sana dengan penuh luka."
Ikhos: "Tapi kita masih saling mencintai... Apa itu tidak cukup?"
Kinur: "Terkadang cinta saja tidak cukup."
Aku terdiam, membiarkan kata-kata itu mengendap dalam pikiranku. Aku ingin menolaknya, ingin membantahnya. Tapi di sisi lain, aku tahu dia benar.
Ikhos: "Kalau begitu, biarkan aku tetap di sampingmu, meski tanpa status. Aku tidak butuh kepastian, aku hanya ingin tetap ada di sisimu."
Kinur: "Itu hanya akan semakin menyakitimu, Ikhos. Dan aku tidak ingin menjadi penyebab lukamu."
Ia meminta agar kami tetap menjadi teman. Namun, bagaimana mungkin itu bisa menjadi permintaan yang masuk akal bagi dua orang yang baru saja kehilangan satu sama lain?
Perpisahan ini tak mudah. Tetapi jika benar kita dipertemukan oleh semesta, mungkin semesta pula yang akan menentukan apakah ada babak lanjutan dalam kisah ini. Mungkin tidak sekarang. Mungkin tidak esok. Tapi yang pasti, jika ini memang bukan akhir, aku tahu ke mana aku harus pulang.
Atau mungkin, aku memang harus belajar menerima bahwa rumah itu kini bukan lagi untukku.
Waktu berjalan, dan aku mulai mengerti bahwa kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Kita semua akan kehilangan seseorang, entah cepat atau lambat. Namun, kehilangan Kinur adalah sesuatu yang berbeda. Ia bukan sekadar seseorang yang pernah singgah, ia adalah bagian dari diriku yang tak bisa kugantikan.
Terkadang, aku ingin menghubunginya. Menanyakan kabarnya. Mencoba mencari celah di antara dinding yang ia bangun. Namun, aku sadar, beberapa hal lebih baik tetap menjadi kenangan.
Mungkin satu waktu aku akan kehilanganmu, tapi kamu takkan pernah kehilangan aku, sebab aku di sini, selamanya untukmu.
-arsip 01/02/2024
Komentar
Posting Komentar