Senandika

Setiap kita mengingat kejadian yang kita lewati, semua hal mampu menimbulkan kelelahan. Seakan dunia bergerak sangat cepat dan kita dituntut untuk berlari dan berusaha mengerti. Ada banyak peristiwa yang datang dan pergi, dan dengan gampang kita merasa bingung untuk memberi arti terhadap semua ini. Kita harus percaya bahwa pada setiap fase, kita disebut sebagai manusia pasti memahami sisi terdalam diri kita, pada setiap fase hidup ada pelajaran yang dapat kita petik. Memang benar, setiap individu memiliki ceritanya tersendiri, dan bukanlah faktor usia seorang diri yang berperan, ada banyak variabel lain yang mengendalikan secepat atau seinflasi mungkin seseorang bisa meraih makna hidup.

Menjelang dewasa, tepatnya antara 18 dan 19 tahun, kita berada pada fase serba ingin mencari jati diri. Pada periode ini, dunia terlihat penuh warna dan ceria. Kita beragan dengan style, kumpul dengan teman, dan kegiatan yang bersifat hedonisme. Beban hidup tidak ada, semua terasa lebih simpel. Tanda-tanda keinginan mengikuti modernisasi sudah mulai lahir, tanpa berfikir apakah hal itu beresiko di masa depan. Hidup dalam fase ini itu normal, tetapi kerap kali orang terjebak dengan perasaan hipnotis semacam ini dan tidak berusaha untuk melakukan refleksi.

Namun, ketika kita mencapai rentang usia 20 - 25 tahun, cara kita memandang dunia mulai berubah. Kita menjadi lebih skeptis terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Ini adalah saat di mana kita mulai merenungkan tentang masa depan, dan kita menyadari bahwa hidup lebih dari sekadar bentuk kesenangan instan, ada makna dan tujuan yang lebih dalam di dalamnya. Kita mulai memahami bahwa ada lebih banyak hal yang lebih penting daripada penampilan seseorang, atau kenikmatan duniawi. Namun, penting untuk diingat bahwa pemahaman ini tidak selalu datang seiring bertambahnya usia. Ada banyak orang yang hanya mulai menyadari hal-hal ini jauh lebih lambat, sementara beberapa mungkin dapat memahaminya jauh lebih awal.

Bukan hanya usia yang menentukan kapan kita mulai memahami makna hidup, tetapi juga pengalaman, lingkungan, dan elemen personal lainnya. Beberapa orang mungkin merasa cukup bijaksana dan dewasa sejak usia muda karena pengalaman hidup yang keras, atau mereka mungkin memang terlahir dengan tingkat pemikiran yang lebih dalam. Di sisi lain dari spektrum adalah orang-orang yang membutuhkan waktu lebih lama untuk benar-benar memahami tujuan hidup mereka karena berbagai pengaruh yang mempengaruhi pola pikir mereka. Proses ini sangat pribadi, dan tidak ada patokan pasti kapan seseorang harus mencapai tingkat pemahaman ini. Setiap perjalanan hidup berbeda, dan itu yang membuatnya istimewa.

waktu berlalu, kita mulai mengenali hal-hal penting yang sebelumnya kita anggap remeh. Misalnya, begini cara kebutuhan dasar kita bekerja: kita makan ketika kita lapar, mencari ketenangan ketika kita merasa tertekan - melalui istirahat, meditasi, atau menghargai keindahan alam - dan memakai pakaian untuk menutupi tubuh kita, sementara kita tinggal di bawah atap. Kita juga telah mulai menghargai perlunya ilmu pengetahuan agar tidak terjebak dalam kebodohan dan untuk hidup dengan bijak. Semua konsep ini sangat sederhana. Namun sering kali, kita cenderung mengabaikan hal-hal mendasar. Dunia luar dengan segala glamornya dan gangguan sering kali membuat kita lupa akan hal-hal penting ini.

 

Tidak perlu dikatakan, kita hidup di dunia yang terus-menerus dipenuhi dengan tuntutan dan tekanan di garis depan. Sebagian besar dari kita, jika tidak semuanya, merasa perlu untuk mencari pengakuan dari orang lain agar bisa menjadi bagian dari kelompok tertentu atau tren. Kita merasakan tekanan untuk mematuhi dan mengikuti narasi populer yang cepat berubah. Kebenaran yang menyedihkan adalah apa yang dianggap keren hari ini bisa dengan mudah ketinggalan zaman besok. Dunia pasar dan perdagangan yang bergerak cepat sering kali menjebak kita untuk fokus pada hal-hal yang tidak menguntungkan kita dalam jangka panjang. Ada perasaan menipu bahwa ada perlombaan abadi yang harus kita ikuti, padahal kenyataannya, kadang-kadang,

Sebagai manusia, kita sering kali merasa cemas dan terjebak dalam kecemasan yang tidak perlu. Misalnya, kita berusaha menghindari rasa insecure, padahal perasaan itu datang karena kita memberi terlalu banyak perhatian pada hal yang seharusnya tidak terlalu penting. Insecure itu wajar. Itu adalah bagian dari kita yang manusiawi. Merasakannya tidak berarti kita gagal atau kurang. Justru, perasaan itu adalah pemicu untuk kita berkembang dan menjadi lebih baik. Tidak ada yang salah dengan merasa tidak cukup atau tidak sempurna. Itu adalah perjalanan yang kita jalani, dan dalam setiap langkahnya kita belajar untuk menerima diri dengan lebih bijaksana.

Di sisi lain, kita sering kali melihat orang lain yang merasa stres karena status mereka—baik itu ketenaran, kekayaan, atau bahkan kemiskinan. Namun, kenyataannya, kebahagiaan kita tidak ditentukan oleh status sosial kita. Seringkali, kita terjebak dalam anggapan bahwa kebahagiaan datang dari memiliki banyak uang atau dikenal orang banyak. Padahal, kebahagiaan yang sejati datang dari kemampuan kita untuk mengelola hidup dengan lebih sederhana. Kebahagiaan sejati datang ketika kita memiliki tubuh yang sehat, emosi yang stabil, dan kecerdasan untuk melihat dunia dengan lebih lapang. Dunia ini tidak selalu harus dilihat melalui kacamata kesuksesan material atau popularitas semata. Kebahagiaan itu lahir dari rasa cukup dan kemampuan kita untuk menikmati hidup apa adanya.

Pada akhirnya, kebahagiaan yang hakiki bukanlah tentang mencapai tujuan yang ditetapkan oleh orang lain atau oleh norma sosial yang ada. Kebahagiaan datang ketika kita bisa hidup dengan tenang, dengan hati yang damai, dan tanpa terbebani oleh ekspektasi dunia luar yang kadang begitu memberatkan. Kebahagiaan itu ada dalam setiap detik yang kita jalani dengan penuh rasa syukur, dalam kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai, dan dalam kesadaran bahwa hidup ini adalah perjalanan, bukan perlombaan. Kita akan menemukan kedamaian ketika kita berhenti mencoba menjadi sesuatu yang kita bukan, dan mulai menjadi diri kita sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Kehidupan memang bukan tentang seberapa cepat kita sampai pada pemahaman, tetapi tentang bagaimana kita belajar untuk menikmati prosesnya. Tidak ada jalan yang salah, hanya jalan yang berbeda. Setiap orang memiliki waktu dan cara mereka sendiri untuk memahami hakikat hidup ini, dan itu adalah bagian dari keindahan perjalanan kita sebagai manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog.

Dogma

Suratku