curhat
Di kamar yang tenang dengan cahaya remang, ingatan saya kembali pada cerita seorang teman minggu lalu. Cerita itu, saya yakin, bukan hanya miliknya, tapi juga pengalaman banyak orang yang pernah merasa goyah, sepi, dan memendam luka. Dengan kata-kata sederhana, saya ingin mengabadikan kekecewaan itu. Bukan untuk meratapi kesedihan, melainkan agar setiap kalimat bisa menenangkan, menumbuhkan pengertian, dan mungkin sedikit kelegaan. Ini tentang mereka yang pernah percaya lalu dikhianati, jatuh dalam kekecewaan tanpa peringatan—kisah yang mungkin sudah sering kita dengar.
Teman saya sering menghitung berapa lama dia ditinggalkan. Angka-angka itu bukan sekadar hitungan waktu, melainkan rentetan hari yang membentuk siklus perpisahan yang tak pernah berakhir baik. Setiap detik terasa menyakitkan, setiap jam membayangi langkahnya. Perpisahan itu tidak hanya memisahkan secara fisik, tapi juga melukai hatinya. Kekecewaan datang seperti gelombang besar, menghantam jiwanya dengan kuat, meninggalkan puing-puing kepercayaan. Namun, yang lebih pedih adalah kejutan saat melihat orang yang selama ini menjadi sandaran, tempat ia menaruh keyakinan, sosok yang seharusnya menjadi penopang hidupnya, kini malah menjadi seperti lumpur hisap. Lumpur itu tidak hanya mengotori, tapi juga menariknya perlahan, menenggelamkan setiap harapan yang pernah ia tanam dengan cinta. Perasaan 'ada' yang dulu begitu nyata, kini lenyap, digantikan oleh kehampaan yang besar, seperti kawah gunung yang baru meletus—sunyi, tandus, dan penuh bekas kehancuran.
Olix. bicara, suaranya sarat beban, mengeluarkan setiap pertanyaan yang terpendam di dadanya. "Hari-hari saya lalui dengan rentetan pertanyaan tanpa henti, seperti tali kusut yang tak saya temukan ujungnya, semakin ditarik semakin erat melilit. Saya menduga-duga setiap peristiwa, mencari jawaban yang seolah tersembunyi, tak terjangkau pikiran. Mengapa ini terjadi? Apakah karena saya kurang? Kurang jantan? Apakah ada sesuatu dalam diri saya yang tidak cukup? Ataukah karena rekening saya yang tak kunjung terisi, membatasi setiap impian yang pernah kami rajut bersama dengan benang harapan yang kini terasa usang?" Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan itu tidak membawa pencerahan. Sebaliknya, mereka kembali melemparkannya ke dalam jurang keraguan yang semakin dalam, memaksanya menyalahkan diri sendiri, menciptakan kekurangan pada dirinya yang tak pernah ada. Ia terjebak dalam penyesalan, padahal ia adalah korban dari pengkhianatan keji.
Saya enggan sekadar bilang, "Bodoh." Kata itu terlalu kasar, terlalu dangkal, terlalu sederhana untuk menjelaskan kerumitan rasa yang ia hadapi. Sebab, sudah jelas, dengan kebenaran yang kini terlihat nyata, dia mengkhianati kamu. Bukan karena kamu kurang, bukan karena ada cacat dalam dirimu. Pengkhianatan itu terjadi karena dia yang masih berdusta, yang tetap mengingkari setiap ucapannya, setiap janji setianya. Dia terbiasa dengan kemunafikan, dunia di mana perasaan adalah topeng yang berganti-ganti, di mana kebenaran hanyalah ilusi. Pada akhirnya, di mata dia, kamu hanyalah laki-laki yang masih biasa, yang belum mencapai standar semu yang ia impikan. Standar yang dibangun di atas pasir, mudah runtuh. Hal yang perlu kamu perbaiki kini bukanlah mencari kekurangan pada dirimu sendiri, melainkan mencintai apa pun yang telah kamu beri, menerima setiap pengorbanan tulus yang telah kamu lakukan, tanpa menyesali apa yang pernah kamu berikan pada pengkhianat itu. Sebab, itu adalah bukti ketulusanmu, bukti bahwa kamu pernah mencintai tanpa syarat, bukan kekurangannya. Itu adalah cerminan kemurnian hatimu.
Namun, Olix. menambahkan, suaranya masih terselip nada keyakinan yang rapuh, "Iya, tapi menurutku dia baik. Saya kenal betul orangnya, dia mencintaiku. Dia hanya butuh waktu." Ah, betapa seringnya hati yang terluka mencari pembenaran, mencoba menyulam harapan dari kepingan kenangan. Ia merangkai ilusi dari sisa-sisa kenangan manis yang rapuh, seolah serpihan kaca yang disusun kembali menjadi cermin utuh, padahal pecahannya masih melukai. Terkadang, informasi dari teman-temannya, seolah mengipasi bara yang nyaris padam: "Dia masih berharap. Dia menyesal. Beri kesempatan untuk berubah. Dia berubah." Bukankah ini ironis? Setelah semua kehancuran, setelah semua dusta yang terkuak, setelah semua luka menganga, masih ada tawaran untuk kembali menyelam ke dalam kolam yang sama? Kolam yang airnya telah keruh, penuh lumpur pengkhianatan, dan dasarnya dipenuhi pecahan kaca.
"Orang bisa berubah," kataku tenang, mencoba menjelaskan logika, "itu tergantung pada dirinya sendiri, pada tekadnya untuk benar-benar bangkit, bukan sekadar janji kosong." Memutuskan cinta, namun tak mampu membatasi diri dari keinginan atau nafsu terhadap orang lain—nafsu yang terus mencari pengakuan, yang tak pernah puas—serta tak bisa mempertahankan kepercayaan—ini harus digarisbawahi. Apalagi dari orang yang sudah pernah mengkhianati, yang telah membuktikan bahwa kata-kata mereka hanyalah angin lalu. Apa yang harus diharapkan dari hubungan yang kini hanya akan penuh kehati-hatian, di mana kamu tak lagi bisa menjadi diri sendiri, harus terus-menerus waspada, dan tak henti mengamati setiap gerak-geriknya, setiap bisikan yang mungkin adalah dusta baru? Kamu lupa, atau mungkin sengaja melupakan, bahwa kalian sudah tak bahagia sejak awal, sejak benih keraguan itu mulai tumbuh, mencekik kepercayaan kalian sampai mati, jauh sebelum pengkhianatan itu terjadi. Kebahagiaan itu sudah lama pergi, digantikan oleh bayangan yang menakutkan.
Keyakinan saya semakin menguat: menjalin hubungan itu bukan hanya karena label 'pacaran', yang seringkali hanya formalitas. Melainkan karena ada kepercayaan yang kokoh di sana, seperti tiang penyangga bangunan yang tak akan roboh dihantam badai. Ada harapan yang selaras, detak jantung yang beriringan, dan perasaan yang benar-benar berharap untuk tumbuh bersama, membentuk kebahagiaan. Bagi saya, 'pacaran' itu kata yang terlalu rapuh, terlalu tidak konkret untuk menjelaskan kesetiaan sejati, untuk menggambarkan kekuatan orang yang bertahan dalam suka dan duka. Di zaman ini, di dunia serba cepat di mana batas-batas menjadi buram, di mana layar ponsel lebih akrab dari tatapan mata, orang tanpa ikatan hubungan pun masih bisa mengucapkan cinta, bercumbu, bermesraan. Lalu, apa bedanya sebuah label, sebuah status, jika fondasinya rapuh, seperti bangunan pasir di tepi pantai yang akan hancur diterjang ombak? Kepercayaan adalah pondasi, bukan sekadar hiasan.
Dan saya tahu, kamu begitu lelah dengan semua yang telah terjadi, dengan pikiran tak berujung, seperti gasing yang tak henti berputar di batinmu, menguras energi, merampas kedamaian. Sampai kapan kamu akan membiarkan diri terperangkap dalam lingkaran ini? Dia sudah berganti pasangan, sudah melangkah maju, sementara kamu masih saja menggenggam erat ilusi yang kau buat sendiri, ilusi tentang dia, tentang kebaikan yang mungkin hanya ada dalam persepsi awalmu, seperti cermin yang memantulkan bayangan tak lagi nyata dari masa lalu yang tak akan kembali. Kamu masih mempertahankan gambaran lama tentangnya, seolah waktu berhenti di momen perpisahan itu, mengunci dirimu dalam sebuah ruangan tanpa pintu keluar.
Padahal, banyak perempuan lain hadir di hidupmu, yang mencintaimu lebih tulus, yang melihatmu apa adanya dengan segala kelebihan dan kekuranganmu, yang siap memberikan segalanya tanpa meminta balasan. Mereka tulus kepadamu, menawarkan permulaan baru, lembaran bersih. Namun, kamu masih saja enggan membuka pikiran, enggan membuka pintu hati, seperti pintu gerbang yang terkunci rapat dengan gembok masa lalu. Kamu terkunci dalam stigma bahwa orang lama adalah pemenangnya, bahwa hanya dia yang bisa memberimu kebahagiaan sejati. Kamu terjebak dalam mati rasa yang seolah tak tersembuhkan. Padahal faktanya, hati manusia itu begitu ajaib, begitu mudah jatuh cinta dalam sepersekian detik, pada pandangan pertama, pada senyuman tak terduga, pada kebaikan tak direncanakan. Hati manusia itu begitu kompleks, begitu mudah terpikat pada hal-hal baru yang membawa kebahagiaan, seperti kupu-kupu yang beterbangan mencari bunga baru. Ada kebahagiaan baru di luar sana, jika saja kamu mau melihat.
Olix. membalas, suaranya pelan, mencoba mempertahankan benteng keyakinannya yang mulai retak, yang kini hanya tersisa puing-puing, "Iya, tapi beda. Kamu harus merasakan. Ini tidak semudah yang kau kira."
Saya tertawa. Tawa tulus, namun dengan nada penuh semangat, seolah ingin mengguncang kesadarannya. Saya katakan padanya, "Tuhan tahu sejak awal, seringkali akhir doa kalian selalu dengan amin yang berbeda. Ada rencana yang lebih besar, sebuah kebijaksanaan yang tersimpan dalam takdir, dalam setiap jalan yang Tuhan pilihkan. Jangan biarkan rasa sakit itu tumbuh dan mengakar dalam dirimu, menjadi benih pahit yang meracuni jiwa. Kamu harus lebih bijaksana melihat perasaanmu sendiri, lebih tegas menentukan mana yang layak dipertahankan dan mana yang harus dilepaskan, mana yang membawa kedamaian dan mana yang hanya membawa luka. Satu bulan adalah waktu yang lebih dari cukup untuk jatuh cinta lagi, untuk membuka diri pada kemungkinan baru, untuk menerima kehadiran yang lebih tulus. Kalaupun masih terasa susah, ubah cara berpikirmu. Karena ketakutan dan kekhawatiran itu bisa kita taklukkan dengan membedakan kemungkinan dan ketidakpastian, seperti seorang pelaut yang membedakan badai nyata yang akan ia hadapi dari awan gelap semata yang akan berlalu.
Ambil contoh sederhana: Misal, A yang mengkhianati kamu. Sudah tentu dia bukan lagi pilihan bijak, bukan lagi tempat aman untuk menaruh hati. Namun, apabila si B mengatakan cinta dan terus membuktikannya, bahkan lewat jeda di antara kalian—kalian hanya berteman, tapi di sisi lain dia masih mengusahakan dan menunjukkan keseriusannya, tanpa memaksa—saya pikir dia adalah orang yang patut kita lihat, yang patut diberi kesempatan. Dia adalah potensi, bukan ilusi; kenyataan, bukan bayangan semu.
Sudah ribuan kutipan tentang move on dan balikan bertebaran di media sosial, masing-masing dengan kalimat bijak. Namun, pada akhirnya, langkah dan persiapan, serta niat, adalah sepenuhnya milik kita. Kita yang menentukan segalanya. Kita yang memegang kendali atas takdir emosional kita. Tidak ada yang bisa melakukannya untukmu.
Sesekali, mari kita tidak menerjemahkan lagu patah hati itu sebagai suara kita sendiri. Sesekali, jangan baca kutipan yang bukan kisah kita, yang hanya menambah beban. Memang, semua ini adalah paradoks. Ada begitu banyak informasi, begitu banyak saran, begitu banyak perasaan membingungkan yang datang silih berganti. Yang memastikan benar dan tidaknya, yang memastikan langkah mana yang harus diambil, adalah kemampuan kita untuk mengatur langkah, cara bijak menentukan apa yang kita butuhkan dan apa yang kita perlukan, daripada sekadar apa yang kita inginkan. Keinginan seringkali buta, digerakkan oleh emosi sesaat, sementara kebutuhan seringkali jujur, menuntun pada kedamaian sejati.
Tetaplah tumbuh dengan seseorang yang juga mencintaimu tanpa lupa mencintai dirinya sendiri. Seseorang yang utuh, yang tidak mencari kekuranganmu untuk menutupi kekurangannya. Tetaplah tumbuh dengan asas yang asli, yang jujur, yang tidak dibuat-buat. Mengupayakan yang terbaik di saat dunia tidak baik-baik saja, di saat badai datang, dan tetap menjadi penawar di saat stigma banyak orang menular pada kita, meracuni pikiran dengan keraguan.
Kita bisa perjuangkan. Usahakan wanita yang tulus. Karena yang tulus itu bukan yang datang di awal dengan janji-janji manis yang hanya sesaat, tapi yang pada akhirnya dia selalu ada, selalu baik, dan tidak berkhianat. Dia yang bertahan, dia yang mengusahakan, dia yang tulus. Cintai dirimu, dan tetaplah tumbuh, bro. Jadikan setiap luka sebagai pupuk yang menyuburkan, yang membuatmu lebih kuat, lebih bijaksana. Jadikan setiap air mata sebagai mata air kehidupan yang baru, yang membersihkan dan menyegarkan jiwamu, menyiapkanmu untuk masa depan yang lebih cerah.
—dan malam menemani saya bertemu. See you. Zzzzz
Komentar
Posting Komentar