Yang Tak Terlihat Tapi Ada

Aku tak pernah menetapkan bentuk cinta yang spesifik.

Bagiku, cinta bukan soal siapa yang bisa memenuhi daftar keinginan. Tapi bagaimana kita saling belajar mencintai diri sendiri terlebih dahulu, sebelum merawat cinta itu bersama. Saling menghargai, saling rispek—itulah keindahan yang sesungguhnya. Karena semua yang indah tak pernah datang dari luar, tapi tumbuh dari dalam, dari proses kita menjadi manusia yang lebih baik.

Tipe pasangan ideal itu bukan standar publik. Bukan soal selera orang banyak. Ia lahir dari pilihan kita untuk hidup bersama dalam damai yang panjang. Aku percaya, kebahagiaan bukan sesuatu yang kita temukan di luar sana, tapi sesuatu yang kita bangun bersama seseorang yang kita pilih dengan hati yang jernih.

Dulu, saat SMA, laki-laki tampan sering jadi pusat perhatian. Waktu kuliah, perhatian itu mulai menurun. Dan setelah lulus, semua orang mulai sadar: bahwa ketampanan bukan jaminan untuk bahagia. Wajah bisa menua, perhatian bisa pudar, tapi hati dan cara seseorang memperlakukan kita—itulah yang tinggal lama.

Hari ini, di usia 25, aku telah menyaksikan banyak hal. Aku telah jatuh dan sembuh, luka dan pulih. Setiap kejadian, setiap lekuk hidup, membawaku untuk lebih mengenal siapa diriku sebenarnya. Aku mulai paham bahwa hidup ini tidak ditentukan oleh penilaian orang lain. Kita tidak dilahirkan untuk memenuhi ekspektasi siapa pun. Layak atau tidaknya hidup ini—itu ditentukan oleh cara kita menerimanya.

Kesendirian, bagiku, bukan pertanda bahwa aku tak cukup untuk dicintai. Bukan juga karena aku tak mampu mencintai. Aku bisa mencintai, dan aku tahu bagaimana rasanya dicintai. Tapi untuk sampai ke titik itu lagi, aku ingin memastikan bahwa diriku telah utuh. Aku ingin berdamai dengan kesalahan yang pernah kubuat, baik dalam ucapan maupun perbuatan, agar batinku tidak lagi gaduh.

Kalau pun nanti aku menginginkan seorang perempuan, aku tidak ingin dia hadir sebagai koma—tempat berhenti sejenak sebelum berpindah. Aku tidak ingin menjadikannya titik untuk menutup bab. Aku ingin kami jadi rangkaian kata yang saling menyambung, yang punya jeda untuk bernapas, tanda tanya untuk memahami, dan seru untuk merayakan—tapi tetap saling baca, saling maknai. Karena aku ingin bersamanya bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk selamanya.

Apa yang harus ia capai? Tak banyak. Aku tidak mencari yang serba bisa. Aku hanya ingin ia mencintai dirinya sendiri, tahu cara menenangkan pikirannya, dan jujur dengan hatinya. Seseorang yang bisa menjadi pelipur, bukan pelarian. Yang bisa menjadi ruang aman ketika hidup ini sedang tidak ramah.

Dua orang yang telah bahagia dengan dirinya masing-masing akan lebih mudah berjalan bersama. Karena hidup ini tidak sesederhana gambar hati dan bunga. Ia teka-teki yang rumit. Dan kita butuh kepala yang tenang, hati yang bersih, bukan yang dipenuhi keluhan, kemarahan, atau kebiasaan menyalahkan segalanya kecuali dirinya sendiri.

Hal-hal kecil yang tak pernah diperbaiki bisa jadi akar dari luka besar di masa depan. Dan aku tak ingin terus berkelahi dengan dua pikiran dalam satu kepala: yang satu ingin memperbaiki, yang satu sibuk menyangkal.

Mungkin, bagi sebagian orang hidupku terdengar membosankan. Tapi bagiku, usia 25 adalah pencapaian yang hening tapi dalam. Banyak air mata yang tak terlihat, banyak luka yang tak sempat kutunjukkan. Namun aku bersyukur: aku masih bisa tersenyum, masih bisa mencintai hidupku, meski tidak sempurna. Tidak ada yang terlalu aku cemaskan. Sebab aku tahu, apa pun yang terjadi, aku telah hidup sejauh ini dengan sepenuh hati.

Beberapa waktu lalu, aku membaca ulang “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi. Orang-orang melihatnya sebagai puisi tentang cinta yang diam-diam dan setia. Bagiku, puisi itu lebih dari itu. Ia adalah tentang kerelaan. Tentang cinta yang memilih untuk tidak menyakiti, bahkan dengan kehadirannya sendiri. Seperti hujan yang tidak turun demi menjaga mekarnya bunga.

 

"Dan barangkali, cinta yang paling utuh adalah yang tidak pernah terburu-buru. Yang tidak memaksa untuk datang, tapi juga tak pernah berniat pergi".


—dengan ikhos di bulan juni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epilog.

Dogma

Suratku